Senin, 05 Mei 2008

IYA THO AKU MAHASISWA???

Oleh; Edi Susilo

Berbicara tentang mahasiswa kita tidak akan lepas dari sebuah jargon “Perubahan” yang selama ini selalu sebagai garda depan pendobrak segala bentuk perubahan di negeri ini. Namun pada akhir-akhir ini jargon tersebut sepertinya sudah mulai asing di telinga kita. Sekarang mahasiswa hanyalah “Sekedar bahasa gaul yang tanpa makna” . Kalau kita mau bicara jujur sebenarnya kehidupan mahasiswa sekarang justru mengasingkan mahasiswa dengan apa yang disebut dengan mahasiswa sendiri. Kuliah yang seharusnya membawa mahasiswa menemukan jati dirinya ternyata menjebakkan mahasiwa dalam sebuah kesenjangan.
Sedikit contoh kecil saja yang bisa kita ambil pelajaran darinya pada saat terjadi gempa 27 Mei 2006 di Jateng dan DIY lalu, ketika masyarakat benar-benar dalam keadan yang sangat membutuhkan uluran tangan kita. mereka yang selama ini dengan bangga berkata kepada semua orang “aku pelajar jogja, aku mahasiswa jogja, inilho aku hebat kuliah dikota pelajar” dengan perasaan tanpa berdosa sedikitpun mulai angkat kaki satu persatu dari kota pelajar dengan beragam alasan. Inikah hasil penggodokan generasi bangsa. hanya diwaktu senang dan bahagia mereka ada! sungguh ironis saat semua hancur tinggal puing-puing, mahasiswa berlenggang pergi. Memang kita juga tidak boleh munafik dan bahkan mungkin masih bisa sedikit tersenyum dan berterima kasih kepada sebagian kecil kawan-kawan mahasiswa dan pelajar yang dengan ikhlas mau bertahan dikota ini yang telah rela menjadi relawan membantu masyarakat dengan sekuat tenaga tanpa mengenal lelah, saling bahu membahu berusaha membangun kembali kehidupan kota ini. Seharusnya seorang mahasiswa bukan hanya hebat diatas pena, dan juga bukan pengecut yang hanya bisa berteriak di bawah bayang semu statusnya.
Kuliah pun membuat mahasiswa terpasung dalam diafragma kekaburan dan kamuflase maya sehingga mahasiswa tidak dapat melihat realita didepan mata dengan jernih. Kuliah kini hanya mengajarkan mahasiswa dalam sebuah paradigma hidup yang individualistik dan materialistik. Dan akhirnya kampus benar-benar menjadi arena pertarungan manusia-manusia yang hanya memburu selembar ijazah sebagai alat legitimasi sosial. Mahasiswa bukan belajar dari refleksi kenyataan hidup sehar-hari melainkan pola-pola egoistik yang hanya mementingkan diri sendiri sehingga menciptakan jenius-jenius yang tidak mengenal masyarakatnya sendiri. Kita harus jujur bahwa sistem pedidikan kita adalah sistem pedidikan feodal.
Cara berpikir yang apatis, membuat mahasiswa kurang bergairah dalam berorientasi dalam menemukan jatidirinya. Mahasiswa hanya berpikir datang ke kampus, pulang, makan dan tidur.Pokoknya bagaimana cepat lulus meski tidak balance dengan pengetahuan yang diperolehnya. Padahal kesemuanya itu adalah penjajahan secara idiologi dan nurani. Saatnyalah mahasiswa bangkit dan bergerak dari keterpurukan dan mencoba 'melek' terhadap fenomena sosial di sekitarnya, untuk itulah seyogyanya keberadaan lembaga formal kampus dapat menjadi tempat untuk menyuarakan aspirasi sekaligus sebagai pembentuk identitas diri kita sebagai mahasiswa.
Sebagai akhir dari tulisan ini, saya mencoba mengajak semuanya marilah kita kembali merenungkan dan merekonstruksikan kembali, sebenarnya makna apa yang tersirat dan tersurut dari status kita sebagai mahasiswa. Haruskah kita diam ditempat dengan bahasa gaul yang kini sudah tak bermakna ini atau kita mencoba menggurat lembaran sejarah baru serta mencoba menorehkan sehingga kita dapat menemukan arti sejati dari diri kita.

Tidak ada komentar: