Senin, 05 Mei 2008

Jurnalisme

* Engkos Kusnandi

Pertanyaan untuk apa jurnalisme itu ada dijawab oleh Bill Kovack dan Tom Rosenstiel dalam bukunya sembilan Elemen Jurnalisme disana terurai beberapa contoh dan kasus seperti yang terjadi di Polandia dan di negara-negara demokrasi bahwa jurnalisme hadir untuk membangun kewargaan (citizenship), jurnalisme hadir untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk demokrasi, jutaan orang yang terberdayakan arus informasi bebas, menjadi terlibat langsung dalam menciptakan pemerintahan dan peraturan baru untuk kehidupan politik, sosial, dan ekonomi negeri mereka. Beda dengan Amerika Serikat yang katanya sekitar setengah abad terakhir ini pertanyaan itu tak dilontakkan lagi baik oleh warga negara maupun wartawan(Journalist). Siapapun bisa menghasilkan jurnalisme, jurnalisme yang selalu berubah kecepatan, teknik, karakter pengiriman berita, tori dan filosofinya. Yang pasti tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur dirinya sendiri atau kata Ki. Hadjar Dewantara dengan Zelpfbeschikking Rich. Dalam filosofinya Ki. Hadjar memilih tidak menggunakan istilah ‘Ratu Adil’ ataupun ‘Ratu Dunia’ bagi Pers/Jurnalisme tapi dengan Sinar Matahari “...............perlambang yang lebih luhur dan indah. Yaitu hendaknya kita memakai julukan ‘Sinar Matahari’ kepada Pres/Pers. Sinar Matahari tidak saja menyebabkan terangnya suasana dan musnahnya kegelapan, namun didalam sinar matahari yang berspectrum lima warna pokok itu, terkandung berjenis-jenis daya kekuatan. Ada yang menyuburkan segala benih yang baik dan bermanfaat, ada pula yang mematikan berbagai,’microben’ yang membahayakan kesehatan hidup. Kita semua tahu apa yang disebut warna ‘ultra violet’. Semua itu berlaku dengan sendirinya, karena berupa ‘proses kodrati’ .“ (baca : Sisipan tentang Pengajaran Kepandaian dalam Tamansiswa). Beliau beralasan bahwa Perkataan ‘Ratu’ mengandung pengertian konservatif dan feodal dan sangat berjauhan dengan jiwa yang bebas dan demokratis. Pelajaran berharga dari seorang tokoh yang pernah mendapat berbagai gelar seperti Ketua Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia pada 24 April 1959) dan pemegang Bintang Maha Putera kelas I (17 Agustus 1960), Satya Lencana Kemerdekaan (20 Mei 1961) yang pada 28 November 1959 dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah RI dan hingga kini hari lahirnya 2 Mei dijadikan Hari Pendidikan Nasional.
Sejatinya media membantu mendefinisikan komunitas kita, menciptakan bahasa yang dipakai bersama dan pengetahuan yang dipakai bersama. Media dapat mengangkat berita kepahlawanan, perang dan tingkat kejahatan diluar pandangan mata kasat kita dari yang baik-baik sampai yang busuk sekalipun, hal senada pernah ditulis Tri Suparyanto salah satu pendiri Majalah Pendapa yang mengkritik bahwa pers tak lebih dari sebuah “Pembungkus” membungkus yang busuk menjadi wangi, yang tidak menarik menjadi menarik, yang kecil menjadi besar, yang sederhana menjadi rumit dan selalu membungkus kemunafikan-kemunafikan yang akhirnya hal tersebut tergantung siapa yang membungkus dan untuk siapa dan untuk kepentingan apa bungkusan itu (Pendapa No.7 Thn II Januari-Pebruari 1991) . Definisi jurnalisme itu memang beragam, terus dikaji ulang, di redefinisi dan direformulasi daru zaman doeloe sampai zaman kiwari.
Amerika ya..... Amerika sangat beda dengan Indonesia yang sedang dalam masa eksperimen demokrasi untuk kesekian kalinya, beda latar belakang dan beda struktur, kultur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membuat perbedaan yang mendasar. Di AS ada yang namanya Amendemen Pertama tentang Kemerdekaan Pers dan di Indonesia sekarang ada Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, dari itu pula yang paling penting menurut saya keterlibatan publik dalam saling menjaga aset demokrasi ini (teori keterkaitan publik) hingga setiap goresan tinta sang jurnalis benar-benar bisa membawa bangsa ini besar dan berjaya.
Pergeseran yang terjadi dinegeri ini memang sama dengan yang ditulis Bill yaitu pertama, sifat terknologi baru seperti internet yang telah memisahkan jurnalisme dari geografinya bahkan kehidupan politik dan kemasyarakatan, kedua, globalisasi dan ketiga, yang menggerakan jurnalisme pasar adalah konglomerasi. Maka dari itu diera demokrasi digital seperti sekarang ini, dengan banyaknya penggunaan teknologi informasi kelas tinggi banyak manfaat yang dirasakan untuk jalannya proses demokratisasi satu contoh proses pemantauan Pemilu atau Pemilihan Presiden.
Indonesia dalam massa transisi demokrasi sekarang ini tidak luput dari hal itu, kebebasan yang baru mendapatkan tempat dan arenanya terus mengundang tanya dan kekhawatiran sejumlah orang, wajar mungkin dengan mempertimbagkan kompleksitas problem yang sedang dialami bangsa besar ini, ketakutan akan disintegrasi, separatisme dan kekhawatiran terbongkarnya korupsi yang pernah dilakukan membuat banyak pendapat dan tindakan yang tidak rasional dan tidak etis ditujukan bagi pers dan para jurnalis. Tapi ketika itu menjadi hal yang tidak terkontrol dan anarkhis serta tidak beretika bahkan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan mejadi momok dan runtuhnya citra yang baru akan dibangun itu ; Kehawatiran yang berlebihan, tidak rasional dan sporadis bahkan kalau bisa dibilang ‘konyol’ bagi mereka yang mengindahkan kebebasan pers.
Kini posisi pers mahasiswa menurut saya mempunyai kewajiban yang besar dalam memberikan pemahaman yang benar pada publik (Masyarakat), para segenap pemirsa dan pembacanya hingga gembar-gembor kebebasan pers yang diteriakan baik oleh Dewan Pers, Serikat Pekerja, PWI dan organisasi sejenis, Perusahaan Pers, AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan Media Watch dan elemen pro kebebasan pers lain dapat dicerna, dipahami oleh masyarakat maksud dan tujuannya. Pers mahasiswa yang tidak hanya menjadi laboratorium jurnalistik, atau hanya menjadi pers komunitas, tapi bisa memberikan pemahaman yang benar bagi pertumbuhan pers Indonesia (baca ; Sejarah Panjang Pers Indonesia). Kesadaran yang dicapai baik oleh jurnalis dan masyarakat harus terus didukung dengan kritis dan kepekaan para mahasiswa dalam menangkap setiap setting agenda dan frame media dibalik kebijakan editorial (editorial policy) yang beragam itu. Terjadinya blocking cpace (dimedia cetak), blocking time (dimedia penyiaran) dan adanya pengaruh kekuatan pasar (geschaft presse) serta adanya pengaruh ideologi yang dianut media (gesinnungs presse) yang terkadang terjadinya tindakan dukung-mendukung apalagi menghadapi pemilu, banyak partai yang mencari dukungan pers (party directed press) atau party bound press /pers menjadi alat, suara partai. Apalagi mendekati Pemilu 2004 yang tinggal hitungan hari dapat dimonitor dan terperhatikan dengan baik perkembangannya. Terciptanya kualitas pers yang baik (quality press,prestigeous press) benar-benar muncul di Indonesia, sehingga sindiran Jacob Oetama bahwa pers berkomunikasi dengan masyarakat tidak tulus menjadi warning bagi pers .
Dengan berpegang teguh pada prinsif jurnalisme universal diharapkan tingkat independensi media pers disertai dengan profesionalisme memahami akan norma-norma etika yang dipegangnya. Harapan hubungan yang dewasa dan harmonis dalam mensikapi setiap karya jurnalistik yang membuat pers makin dewasa dan semakin mengerti apa sesungguhnya yang diharapkan publik akan media (baca ; Mengingatkan Pers dengan Etika). Sembilan elemen jurnalisme yang dicatat Bill dan Tom seperti kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran, loyalitas pertama jurnalisme kepada warga, intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi, menjaga independensi terhadap sumber berita, jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan, jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga, jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan relevan, jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional dan yang terakhir harus mengikuti hati nurani. Dengan tidak mengekor, hal itu pula sejalan dengan kode etik wartawan Indonesia yang menjadi tumpuan anak negeri ini.
Karya Jurnalistik bukan karya para malaikat, melainkan karya journalist (wartawan) yang juga manusia yang kadang salah, perlu cara dan waktu menegakan tiang the fourth estate (kekuasaan keempat) sebagai pilar demokrasi ini. Sehingga penampakan pers bebas (free press) dapat diterima sebagai sebuah kebutuhan pokok yang sama halnya dengan kebutuhan sandang pangan. Dengan demikian nunculnya budaya kekerasan (violent culture) seperti penganiyayaan, penculikan, pembunuhan terhadap wartawan dan pengrusakan kantor redaksi media tidak terjadi lagi. Yang pokok pers Indonesia harus tetap berpihak pada bangsa dan negara menjaga tali keutuhan bangsa dan tanah Nusantara ini.
Semoga ungkapan Karl Klaus seorang pakar politik dan pers dari Wina bahwa keberadaan pers lebih dahulu dari pada keberadaan dunia (in the begining was the press and then the world appeared) dapat diterjemahkan oleh anak negeri ini sampai tuntas. Teori yang terhenti pada ranah tekstual tapi dapat diambil hikmah dan sarinya bagi umat manusia.

* Atikel ini pernah di publikasikan di MAJALAH PENDAPA Tamansiswa

Tidak ada komentar: